Selasa, 15 Februari 2011

Desa Umpungeng Desa Wisata

Umpungeng merupakan kawasan desa wisata yang terletak 50 km sebelah utara kota Makassar dan 15 km sebelah Selatan kota kabupaten Soppeng. Desa ini terletak di bukit yang menyerupai manusia yang sedang terbujur sehingga Desa Umpungeng terlihat persis berada  dibagian pusar manusia. Dua Gunung menjulang tinggi mengapit bukit ini yakni Gunung Laposo dan Gunung Neneconang serta dua aliran sungai batu dengan air yang sangat jernih dan mengandung aneka flora dan fauna membuat desa Umpungeng terasa benar-benar menyatu dengan alam.
Populasi penduduk yang mendiami desa yang merupakan sentra gula aren sulawesi selatan ini berkisar 100 Kepala Keluarga atau sekitar 500 jiwa.Penduduk Umpungeng merupakan keturunan Bugis yang merupakan hasil pembauran antara Soppeng dan Barru. Akar sejarah dan asal muasal keturunan orang Umpungeng dimulai dari  Arung Palakka. Hal ini dapat ditemukan dalam manuskrip sejarah Arung Palakka yang masih tersimpang rapi oleh ketua adat kampung Umpungeng. Keramah tamahan dan Gotong Royong merupakan karasteristik warga desa ini. Setiap tamu yang berkunjung kedesa ini merupakan anugrah bagi warga, oleh karenanya harus di hormati dan dijaga. Segala pekerjaan yang tergolong berat dan membutuhkan extra tenaga baik untuk kepentingan bersama ataupun untuk kepentingan perorangan selalu diselesaikan dengan cara Gotong Royong.
Pesona keakraban dan kehangatan penduduk seolah merupakan paket keindahan dan citarasa keagungan dalam satu kesatuan alam, tersaji  lewat budaya syukur yang terpancar diwajah para penduduk saat menyambut kedatangan tamu.
menambah sangat menarik dikunjungi untuk berwisata ataupun melakukan penelitian alam. Desa ini merupakan wilayah kecamatan Lalabata yang dapat diacces  melalui tiga arah yakni dari Bulu Dua, Jolle dan dari Kampung Pange Kabupaten Barru. Datang dan nikmati keramah tamahan penduduknya, kesejukan alamnya dan aliran sungai-sungai yang membela setiap bukit dan gunung dengan nyanyian berbagai jenis  margasatwanya.

Psikologi Kematian

ku ingin hidup seribu tahun lagi
(Chairil Anwar)

Kematian adalah keniscayaan yang tidak terelakkan. Ia merupakan drama penuh misteri dan seketika yang dapat mengubah jalan hidup seseorang. Karena begitu misterius dan menakutkannya kematian, tidak sedikit umat manusia merasa perlu menambah masa hidupnya, seperti yang terangkum dalam pernyataan Chairil Anwar itu.

Membahas kematian bisa menimbulkan sebuah 'pemberontakan' yang menyimpan kepedihan pada jiwa manusia, yaitu kesadaran dan keyakinan bahwa mati pasti akan tiba dan musnahlah semua yang dicintai dan dinikmati dalam hidup ini. Kesadaran itu memunculkan penolakan bahwa kita tidak ingin (cepat) mati.

Buku Psikologi Kematian karya Komaruddin Hidayat ini secara khusus berbicara kematian. Dalam pengantarnya, M Quraish Shihab mengakui buku best seller itu dapat membantu pembacanya bukan saja untuk memahami psikologi kematian, namun juga rahasianya dan yang lebih penting lagi ialah menuntut kita menjemput maut dengan hati yang damai.

Menurut Komaruddin Hidayat, keengganan manusia untuk menjemput kematiannya disebabkan, setidaknya dua hal. Pertama, manusia terlanjur dimanjakan dengan aneka kenikmatan duniawi yang telah dipeluknya erat-erat. Kedua, sifat kematian yang misterius. Kematian ditakuti karena manusia tidak tahu persis apa yang akan terjadi setelah kematian itu (hlm 118).

Kematian dengan demikian menjadi misteri kehidupan yang mendebarkan, bahkan menakutkan. Bagi kaum eksistensialis, kematian adalah suatu derita dan musuh bebuyutan yang terlalu tangguh untuk dikalahkan. Prestasi akal budi manusia yang telah melahirkan peradaban iptek supercanggih tetap tidak akan pernah mampu menelusuri jejak malaikat maut. Anehnya, tidak sedikit manusia justru merasa enggan mati dan berusaha ekstra memperpanjang sisa hidupnya.

Keengganan dan 'pemberontakan' umat manusia atas kematian telah melahirkan dua mazhab psikologi kematian. Pertama, mazhab religius, yaitu mereka yang menjadikan agama sebagai rujukan bahwa keabadian setelah kematian itu betul-betul ada dan untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi, orang religius menjadikan kehidupan akhirat sebagai target tertinggi.

Bagi penganut mazhab religius, mengejar-ngejar kenikmatan hidup duniawi dan memperoleh self-glory hanya akan menghambat diraihnya kesuksesan hidup di akhirat. Penguasa, misalnya, jangan hanya mabuk kekuasaan dan uang, tapi kesejahteraan rakyatnya harus diperhatikan agar kenyamanan hidup setelah kematian bukan sebatas impian.

Kedua, mazhab sekuler yang tidak peduli dan tidak yakin adanya kehidupan setelah kematian. Kelompok itu dibedakan dua. Pertama, meskipun mereka tidak peduli kehidupan akhirat, kelompok ini berusaha mengukir namanya dalam lintasan sejarah. Seperti, demi popularitas, orang kaya rela membantu yang miskin. Kedua, mereka yang memang pemuja hidup hedonistis yang sama sekali tidak peduli dengan pengadilan dan penilaian sejarah.

Dalam pandangan Komaruddin Hidayat, keyakinan dan ketidakyakinan manusia bahwa setiap saat kita bisa dijemput kematian memiliki pengaruh besar dalam kehidupan seseorang. Begitu pula dengan keyakinan adanya kehidupan setelah kematian. Dengan harapan memperoleh kebahagiaan di akhirat, misalnya, maka raja-raja Mesir membangun Piramida dengan pucuknya runcing dan menjulang ke langit agar memudahkan perjalanan arwahnya menuju surga (hlm 117).

Islam secara tegas mengajarkan bahwa tiada seorang pun yang bisa menemani dan menolong perjalanan arwah kecuali akumulasi amal kebaikan kita sendiri. Kenikmatan dan gemerlap kehidupan duniawi akan ditinggalkan dan tidak ada bekal yang berharga bagi kelanjutan perjalanan hidup manusia kecuali amal kebaikan yang telah terekam dalam disket rohani yang nantinya akan di-print out di akhirat.

Frank J Tipler dalam bukunya The Psysics of Immortality (1994) menyarankan manusia agar selalu berbuat baik demi kesuksesan dunia-akhirat. Kebaikan membuat kita tersenyum ketika malaikat maut menjemput meskipun keluarga yang akan kita tinggalkan menangis. Sebaliknya, kebejatan akan membuat kita menangis ketakutan, sedangkan orang-orang di sekitar kita tersenyum gembira karena merasa risih akan keberadaan kita sendiri.

Sumber: Media Indonesia 6 Maret 2006
Hanik Uswatun Khasanah







Desa Umpungeng

ku ingin hidup seribu tahun lagi
(Chairil Anwar)

Kematian adalah keniscayaan yang tidak terelakkan. Ia merupakan drama penuh misteri dan seketika yang dapat mengubah jalan hidup seseorang. Karena begitu misterius dan menakutkannya kematian, tidak sedikit umat manusia merasa perlu menambah masa hidupnya, seperti yang terangkum dalam pernyataan Chairil Anwar itu.

Membahas kematian bisa menimbulkan sebuah 'pemberontakan' yang menyimpan kepedihan pada jiwa manusia, yaitu kesadaran dan keyakinan bahwa mati pasti akan tiba dan musnahlah semua yang dicintai dan dinikmati dalam hidup ini. Kesadaran itu memunculkan penolakan bahwa kita tidak ingin (cepat) mati.

Buku Psikologi Kematian karya Komaruddin Hidayat ini secara khusus berbicara kematian. Dalam pengantarnya, M Quraish Shihab mengakui buku best seller itu dapat membantu pembacanya bukan saja untuk memahami psikologi kematian, namun juga rahasianya dan yang lebih penting lagi ialah menuntut kita menjemput maut dengan hati yang damai.

Menurut Komaruddin Hidayat, keengganan manusia untuk menjemput kematiannya disebabkan, setidaknya dua hal. Pertama, manusia terlanjur dimanjakan dengan aneka kenikmatan duniawi yang telah dipeluknya erat-erat. Kedua, sifat kematian yang misterius. Kematian ditakuti karena manusia tidak tahu persis apa yang akan terjadi setelah kematian itu (hlm 118).

Kematian dengan demikian menjadi misteri kehidupan yang mendebarkan, bahkan menakutkan. Bagi kaum eksistensialis, kematian adalah suatu derita dan musuh bebuyutan yang terlalu tangguh untuk dikalahkan. Prestasi akal budi manusia yang telah melahirkan peradaban iptek supercanggih tetap tidak akan pernah mampu menelusuri jejak malaikat maut. Anehnya, tidak sedikit manusia justru merasa enggan mati dan berusaha ekstra memperpanjang sisa hidupnya.

Keengganan dan 'pemberontakan' umat manusia atas kematian telah melahirkan dua mazhab psikologi kematian. Pertama, mazhab religius, yaitu mereka yang menjadikan agama sebagai rujukan bahwa keabadian setelah kematian itu betul-betul ada dan untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi, orang religius menjadikan kehidupan akhirat sebagai target tertinggi.

Bagi penganut mazhab religius, mengejar-ngejar kenikmatan hidup duniawi dan memperoleh self-glory hanya akan menghambat diraihnya kesuksesan hidup di akhirat. Penguasa, misalnya, jangan hanya mabuk kekuasaan dan uang, tapi kesejahteraan rakyatnya harus diperhatikan agar kenyamanan hidup setelah kematian bukan sebatas impian.

Kedua, mazhab sekuler yang tidak peduli dan tidak yakin adanya kehidupan setelah kematian. Kelompok itu dibedakan dua. Pertama, meskipun mereka tidak peduli kehidupan akhirat, kelompok ini berusaha mengukir namanya dalam lintasan sejarah. Seperti, demi popularitas, orang kaya rela membantu yang miskin. Kedua, mereka yang memang pemuja hidup hedonistis yang sama sekali tidak peduli dengan pengadilan dan penilaian sejarah.

Dalam pandangan Komaruddin Hidayat, keyakinan dan ketidakyakinan manusia bahwa setiap saat kita bisa dijemput kematian memiliki pengaruh besar dalam kehidupan seseorang. Begitu pula dengan keyakinan adanya kehidupan setelah kematian. Dengan harapan memperoleh kebahagiaan di akhirat, misalnya, maka raja-raja Mesir membangun Piramida dengan pucuknya runcing dan menjulang ke langit agar memudahkan perjalanan arwahnya menuju surga (hlm 117).

Islam secara tegas mengajarkan bahwa tiada seorang pun yang bisa menemani dan menolong perjalanan arwah kecuali akumulasi amal kebaikan kita sendiri. Kenikmatan dan gemerlap kehidupan duniawi akan ditinggalkan dan tidak ada bekal yang berharga bagi kelanjutan perjalanan hidup manusia kecuali amal kebaikan yang telah terekam dalam disket rohani yang nantinya akan di-print out di akhirat.

Frank J Tipler dalam bukunya The Psysics of Immortality (1994) menyarankan manusia agar selalu berbuat baik demi kesuksesan dunia-akhirat. Kebaikan membuat kita tersenyum ketika malaikat maut menjemput meskipun keluarga yang akan kita tinggalkan menangis. Sebaliknya, kebejatan akan membuat kita menangis ketakutan, sedangkan orang-orang di sekitar kita tersenyum gembira karena merasa risih akan keberadaan kita sendiri.

Sumber: Media Indonesia 6 Maret 2006
Hanik Uswatun Khasanah







http://v2.cache7.c.bigcache.googleapis.com/static.panoramio.com/photos/original/45856813.jpg?redirect_counter=2

Psikologi

Aku ingin hidup seribu tahun lagi
(Chairil Anwar)

Kematian adalah keniscayaan yang tidak terelakkan. Ia merupakan drama penuh misteri dan seketika yang dapat mengubah jalan hidup seseorang. Karena begitu misterius dan menakutkannya kematian, tidak sedikit umat manusia merasa perlu menambah masa hidupnya, seperti yang terangkum dalam pernyataan Chairil Anwar itu. 

Membahas kematian bisa menimbulkan sebuah 'pemberontakan' yang menyimpan kepedihan pada jiwa manusia, yaitu kesadaran dan keyakinan bahwa mati pasti akan tiba dan musnahlah semua yang dicintai dan dinikmati dalam hidup ini. Kesadaran itu memunculkan penolakan bahwa kita tidak ingin (cepat) mati. 

Buku Psikologi Kematian karya Komaruddin Hidayat ini secara khusus berbicara kematian. Dalam pengantarnya, M Quraish Shihab mengakui buku best seller itu dapat membantu pembacanya bukan saja untuk memahami psikologi kematian, namun juga rahasianya dan yang lebih penting lagi ialah menuntut kita menjemput maut dengan hati yang damai. 

Menurut Komaruddin Hidayat, keengganan manusia untuk menjemput kematiannya disebabkan, setidaknya dua hal. Pertama, manusia terlanjur dimanjakan dengan aneka kenikmatan duniawi yang telah dipeluknya erat-erat. Kedua, sifat kematian yang misterius. Kematian ditakuti karena manusia tidak tahu persis apa yang akan terjadi setelah kematian itu (hlm 118). 

Kematian dengan demikian menjadi misteri kehidupan yang mendebarkan, bahkan menakutkan. Bagi kaum eksistensialis, kematian adalah suatu derita dan musuh bebuyutan yang terlalu tangguh untuk dikalahkan. Prestasi akal budi manusia yang telah melahirkan peradaban iptek supercanggih tetap tidak akan pernah mampu menelusuri jejak malaikat maut. Anehnya, tidak sedikit manusia justru merasa enggan mati dan berusaha ekstra memperpanjang sisa hidupnya. 

Keengganan dan 'pemberontakan' umat manusia atas kematian telah melahirkan dua mazhab psikologi kematian. Pertama, mazhab religius, yaitu mereka yang menjadikan agama sebagai rujukan bahwa keabadian setelah kematian itu betul-betul ada dan untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi, orang religius menjadikan kehidupan akhirat sebagai target tertinggi. 

Bagi penganut mazhab religius, mengejar-ngejar kenikmatan hidup duniawi dan memperoleh self-glory hanya akan menghambat diraihnya kesuksesan hidup di akhirat. Penguasa, misalnya, jangan hanya mabuk kekuasaan dan uang, tapi kesejahteraan rakyatnya harus diperhatikan agar kenyamanan hidup setelah kematian bukan sebatas impian. 

Kedua, mazhab sekuler yang tidak peduli dan tidak yakin adanya kehidupan setelah kematian. Kelompok itu dibedakan dua. Pertama, meskipun mereka tidak peduli kehidupan akhirat, kelompok ini berusaha mengukir namanya dalam lintasan sejarah. Seperti, demi popularitas, orang kaya rela membantu yang miskin. Kedua, mereka yang memang pemuja hidup hedonistis yang sama sekali tidak peduli dengan pengadilan dan penilaian sejarah. 

Dalam pandangan Komaruddin Hidayat, keyakinan dan ketidakyakinan manusia bahwa setiap saat kita bisa dijemput kematian memiliki pengaruh besar dalam kehidupan seseorang. Begitu pula dengan keyakinan adanya kehidupan setelah kematian. Dengan harapan memperoleh kebahagiaan di akhirat, misalnya, maka raja-raja Mesir membangun Piramida dengan pucuknya runcing dan menjulang ke langit agar memudahkan perjalanan arwahnya menuju surga (hlm 117). 

Islam secara tegas mengajarkan bahwa tiada seorang pun yang bisa menemani dan menolong perjalanan arwah kecuali akumulasi amal kebaikan kita sendiri. Kenikmatan dan gemerlap kehidupan duniawi akan ditinggalkan dan tidak ada bekal yang berharga bagi kelanjutan perjalanan hidup manusia kecuali amal kebaikan yang telah terekam dalam disket rohani yang nantinya akan di-print out di akhirat. 

Frank J Tipler dalam bukunya The Psysics of Immortality (1994) menyarankan manusia agar selalu berbuat baik demi kesuksesan dunia-akhirat. Kebaikan membuat kita tersenyum ketika malaikat maut menjemput meskipun keluarga yang akan kita tinggalkan menangis. Sebaliknya, kebejatan akan membuat kita menangis ketakutan, sedangkan orang-orang di sekitar kita tersenyum gembira karena merasa risih akan keberadaan kita sendiri. 

Sumber: Media Indonesia 6 Maret 2006
Hanik Uswatun Khasanah